Hak Beribadah Para Napiter Tetap Diberikan Dan Pelayanan Telah Sesuai Standar

Hak Beribadah Para Napiter Tetap Diberikan dan Perlakuan Telah Sesuai Standard
 
JAKARTA— Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kementerian Hukum dan HAM Ajub Suratman membantah tidak diberikannya hak-hak dasar seperti beribadah kepada narapidana teroris (Napiter) yang tengah menjalani masa hukuman di Nusakambangan sebagaimana diadukan anggota Tim Pengacara Muslim Achmad Michdan  kepada Komisi III DPR, Kamis, 31 Juli lalu. Ajub juga menjelaskan bahwa perlakuan yang diberikan kepada para Napiter tersebut sesuai standard yang berlaku dan tidak berlebihan sebagaimana diklaim Michdan.  
 
Kepada wartawan yang mencoba melakukan konfirmasi sehubungan aduan tersebut di Jakarta, Jumat, 1 Juni 2018, Ajub menegaskan bahwa Kementerian Hukum dan HAM sangat menghormati hak-hak asasi dasar yang dimiliki pada Napiter, terutama hak untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianut.
 
“Sebagaimana memang semestinya, hak beribadah tetap diberikan, juga hak-hak mendasar lainnya. Hanya satu hal juga mesti dipahami, para Napiter itu tengah dalam proses pembinaan agar mereka bisa kembali ke masyarakat sebagai bagian dari warga masyarakat yang baik,” kata Ajub.   
 
Menurut Ajub, pada awal-awal memasuki masa pembinaan, mayoritas Napiter umumnya menganut ideologi yang merasa benar sendiri. Ideology itu juga membuat mereka senantiasa merasa sebagai pihak yang selalu benar, sementara orang lain di luar mereka dan kelompoknya, selalu salah. Jadi, menurut Ajub, memang ada standard untuk memisahkan mereka dari anggota kelompoknya agar pemikiran ultra-radikal yang telah mengendap sekian lama itu bisa mengalami proses perbaikan.
 
“Semua ketentuan dan aturan Lapas itu dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan, agar proses pembinaan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik,” kata Ajub. Mengingat terorisme tergolong extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), maka perlakuan yang mereka terima pun memang lain dibanding Napi kriminal biasa.
 
“Napiter itu termasuk kategori berisiko tinggi (highrisk) sampai yang bersangkutan pada saatnya mengalami perubahan pola piker dan kian sesuai dengan norma-norma umum yang berlaku di masyarakat,” kata Ajub.  Dalam hal itu Kementerian memiliki standard bahwa tahap pembinaan pun sesuai dengan klasifikasi Napiter yang bersangkutan. Pada masa pidana (MP) 0 sampai satu pertiga masa pidana Napiter berada dalam penanganan super maksimum security.
 
Saat masa pidananya sepertiga hingga setengah masa pidana, menurut Ajub, Napiter yang memang tergolong high risk itu berada dalam penanganan tahap maximum security. Baru saat mereka menjalani setengah hingga dua pertiga masa pidana (MP), mereka memasuki tahap medium security yg pada akhirnya ke tahap minimum security 2/3 masa pidana sampai selesai menjalani pidana.
 
“Nah, para Napiter yang masih dalam kategori ideolog itu memiliki pemikiran sangat radikal, yang selalu mengganggap dirinya paling benar dengan mengklaim orang lain itu selalu salah, bahkan menganggap orang lain itu kafir,” kata Ajub.
 
Beberapa waktu lalu kepada wartawan Ajub juga menjelaskan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) khusus teroris dengan pengamanan super maksimum tersebut akan menjamin berkurangnya potensi terorisme di Tanah Air. Lapas khusus teroris yang dibangun di Nusakambangan dengan kapasitas maksimum 500 orang Napi teroris itu akan mengaplikasikan pengamanan super maksimum.
 
Selain mengurangi  peluang komunikasi di antara teroris yang selama ini tak jarang digunakan untuk melakukan koordinasi dengan gerakan di luar, Napiter di Lapas tersebut selalu berada dalam pengawasan jaringan televise sirkuit tertutup (CCTV).
 
Namun saat itu pun Ayub menjamin bahwa tidak seluruh hak napi teroris ditiadakan. Para napi teroris tetap mendapatkan kesempatan menghirup udara segar dan sinar matahari selama sekitar satu jam setiap hari di lorong, depan sel masing-masing, berikut penjelasan Kepala Biro Humas Kementerian Hukum dan HAM RI 
 
(Humas Kemenkumham RI)

Cetak   E-mail