TANTANGAN HUKUM MEREK DALAM MENGATASI PROBLEMATIKA PEGIAT USAHA KECIL DAN MENENGAH GUNA TERCAPAINYA PERSAINGAN USAHA YANG KOMPETITIF

Saat ini, Indonesia menghadapi Revolusi Industri 4.0. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi digital diperlukan untuk memacu produktivitas dan daya saing bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Tujuan utamanya adalah UKM mampu menembus pasar ekspor, sehingga meningkatkan daya saing dan tentunya devisa Negara.

Potensi UKM di Indonesia sangat besar berbanding lurus dengan jumlah penduduk, bahkan kualitas dari produk UKM dapat dikatakan memenuhi kualitas ekspor. Namun bila dicermati, perkembangan UKM di dalam negeri cenderung stagnan, bahkan kurang mempunyai daya saing untuk berkompetisi dengan usaha besar. Tidak adanya keberanian dalam membangun identitas diri/merek dagang menjadi salah satu kelemahan UKM, padahal apabila dicermati hasil-hasil produk UKM di Indonesia tidak kalah dengan luar negeri terutama antar negara di Asia Tenggara. Perlu diingat, bahwa setiap usaha besar berawal dari UKM, maka seharusnya keberanian daya saing harus dimunculkan oleh pegiat UKM di Indonesia.

Sentra Industri Kerajinan Kulit Manding, Bantul memiliki banyak UKM yang memproduksi berbagai jenis barang yang berbahan dasar kulit diantaranya tas, ikat pinggang, dan lain-lain. Sudah menjadi rahasia umum bahwa merek dagang yang dipakai untuk melabeli produk-produk tersebut adalah merek dagang yang sudah mendunia, seperti Gucci, Prada, dan Louis Vuitton yang langsung saja dipakai tanpa izin oleh pegiat UKM. Terakhir saat penulis berkunjung ke produsen produk gitar custom di Salatiga. Merek dagang gitar terkenal Ibanez, Gibson, dan Yamaha langsung dipakai tanpa izin oleh pegiat UKM gitar custom, dengan alasan agar laku keras di pasaran.

Kegiatan pegiat UKM di Sentra Industri Kerajinan Kulit, Manding dan gitar custom di Salatiga mengindikasikan adanya tindak pidana bidang merek. Produk yang dihasilkan menggunakan merek dagang perusahaan tertentu seolah-olah produk tersebut dibuat oleh perusahaan tersebut.

Alasan paling mendasar digunakannya merek dagang luar negeri adalah ketakutan membuat merek sendiri yang akan berdampak pada turunnya nilai jual produk di pasaran. Keadaan “takut tidak laku” makin parah dengan kemampuan manajemen perdagangan yang minim serta kurangnya pemahaman mengenai hukum merek (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis), padahal pemahaman pegiat UKM terhadap Hukum Merek mutlak diperlukan.

Pegiat UKM yang kreatif tidak akan bisa berkembang pesat, jika tidak diimbangi dengan modal kematangan berfikir jangka panjang. Menyatakan diri terjun berwirausaha tentu ada naluri ingin bertahan (survive) dan kompetitif, namun jika memakai merek dagang terkenal dari negara lain dapat menjadi bumerang bagi UKM itu sendiri. Ancaman tindak pidana pemalsuan hak merek serta kerugian internal lainnya harus siap diterima oleh pegiat UKM tersebut.

Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Dalam mencapai persaingan sehat, ada dua instrumen hukum yang harus ditegakkan, yaitu regulasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) serta pencegahan persaingan curang dan hukum anti monopoli.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus konsekuen menjalankan visinya, sebagai pendorong inovasi dan kreativitas masyarakat. Kegiatan Pasar Inovasi dan Kreativitas yang pernah diadakan pada tahun 2017 di Jakarta, perlu dilaksanakan tiap tahun dan diperluas di tiap Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Era Revolusi Industri 4.0 menjadikan pegiat UKM masuk ke marketplace, dari produsen langsung ke konsumen (tanpa agen), sehingga pegiat UKM lebih percaya diri memasarkan merek dagangnya sendiri dan meningkatkan nilai jual. Ketiga, memberdayakan dalam arti pula melindungi. Perlunya penyuluhan regulasi HKI serta pencegahan persaingan curang dan hukum anti monopoli harus dilaksanakan secara periodik terhadap pegiat UKM di tiap Kantor Wilayah, sehingga kesadaran hukum tercapai.

HKI tidak bisa dianggap hal remeh, karena negara-negara minim sumber daya alam tetapi termasuk kategori negara maju adalah negara yang mengoptimalkan HKI sebagai sumber devisanya, misalnya Jepang dan Swiss. Indonesia mempunyai anugerah sumber daya alam melimpah dan produk-produk dagang kualitas ekspor. Oleh karena itu, perlunya optimalisasi HKI, dalam konteks ini hukum merek oleh Pegiat UKM yang bergerak di bidang merek dagang. Implikasinya, maka percepatan pertumbuhan industri, menciptakan lapangan kerja baru, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Oleh : Herlambang Fadlan Sejati[1]

 

Oleh : Herlambang Fadlan Sejati[1]



       [1] Analis Hukum Balai Harta Peninggalan Semarang

Cetak