Semarang - Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenaganukliran. Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Anggiat Ferdinan mengikuti kegiatan secara langsung di Gumaya Tower Hotel Semarang, Kamis (27/06).
Acara ini bertujuan untuk mengumpulkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan guna menyempurnakan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, yang diprakasai oleh BAPETEN.
Dalam laporannya, Ketua Panitia Widyastuti menjelaskan bahwa Direktorat Harmonisasi PUU II saat ini sedang melaksanakan proses pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas RUU tersebut.
“Kami mengundang berbagai pemangku kepentingan untuk memberikan masukan yang konstruktif agar RUU ini bisa lebih komprehensif dan tepat sasaran,” ujar Widyastuti.
Acara ini dibuka secara resmi oleh Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan II, Unan Pribadi, S.H., M.H., yang mewakili Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Dalam sambutannya, Unan Pribadi menyatakan bahwa pengaturan yang komprehensif mengenai penyelenggaraan ketenaganukliran diharapkan dapat meningkatkan kemandirian industri dan teknologi ketenaganukliran, mendorong pembangunan berkelanjutan, dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
“RUU ini bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan ketenaganukliran memenuhi aspek keselamatan, keamanan, ketentraman masyarakat, dan perlindungan lingkungan hidup,” jelas Unan Pribadi.
Pada sesi pembahasan, Dr. Intan Inayatun Soeparna, S.H., M.Hum., dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dalam pemaparannya menjelaskan bahwa pertanggungjawaban kerugian nuklir pada transportasi nuklir sudah diatur dengan jelas dalam Perpres No 74 Tahun 2012.
“Jika terjadi kecelakaan nuklir selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, tanggung jawab atas kerugian nuklir dibebankan kepada pengusaha instalasi nuklir pengirim. Namun, tanggung jawab ini bisa dialihkan kepada pengusaha instalasi nuklir penerima atau pengusaha pengangkutan jika telah diperjanjikan secara tertulis,” jelas Dr. Intan.
Selanjutnya, Prof. Dr. Drs. Wahyu Setia Budi, M.S., F.Med., dari Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, membahas manfaat radiasi pengion dalam bidang kesehatan. Di mana radiasi pengion digunakan untuk mendiagnosis citra organ, menentukan ukuran organ, mengetahui keadaan dalam organ secara real-time, dan mengetahui aktivitas jaringan. Meskipun memiliki manfaat besar, penggunaan radiasi pengion harus memperhatikan ketentuan keselamatan, keamanan, dan perlindungan untuk pekerja, masyarakat, dan lingkungan.
Narasumber terakhir, Haendra Subekti, S.T., M.T., Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir, menekankan urgensi perubahan dalam RUU Ketenaganukliran untuk mengoptimalkan sumber energi nuklir, kesiapsiagaan dan penanggulangan kedaruratan nuklir, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Pengelolaan ketenaganukliran yang baik dapat mendorong pertumbuhan industri, meningkatkan kesehatan masyarakat, menguasai teknologi, serta menyediakan energi yang berkelanjutan,” tegas Haendra.
Dengan terselenggaranya FGD ini, diharapkan RUU Ketenaganukliran dapat disempurnakan sehingga implementasinya efektif dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan lingkungan.